Friday, December 5, 2008

Masih adakah "SEMAR" dalam lingkaran Elite Kekuasaan?


Link

Para penggemar pakeliran wayang purwa, pasti sudah tidak asing lagi dengan tokoh Semar. Bersama ketiga anaknya, Gareng, Petruk, dan Bagong, Semar seringkali hadir ketika dunia pakeliran mencapai tahap “gara-gara” alias klimaks yang menandai kacaunya situasi kehidupan di mayapada. Melalui karakternya yang khas dan tersamar, Semar mewakili basis kehidupan “wong cilik” yang seringkali tertindas dan menjadi korban pertarungan kaum elite yang tengah berebut kekuasaan.

Namun, Semar yang tampak adalah wadag kasar Janggan Semarasanta. Semar yang sesungguhnya adalah putra Sang Hyang Wisesa yang diberi anugerah mustika manik astagina yang mempunyai delapan daya (tidak pernah lapar, tidak pernah mengantuk, tidak pernah jatuh cinta, tidak pernah bersedih, tidak pernah merasa capek, tidak pernah menderita sakit, tidak pernah kepanasan, dan tidak pernah kedinginan). Kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun alias kuncung. Semar atau Ismaya juga memiliki beberapa gelar sekaligus, yakni Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, atau Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri (alam kosong) dan tidak diperkenankan menguasai manusia di alam dunia.

Siapakah Janggan Semarasanta itu? Dalam jagad pakeliran, dia adalah anak sulung Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan yang berperawakan cebol, ipel-ipel, dan berkulit hitam. Sedangkan, Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan merupakan salah satu keturunan Batara Semar, hasil pernikahannya dengan Dewi Sanggani, putri Sanghyang Hening. Karena tidak diperkenankan menguasai kehidupan manusia di mayapada, Batara Ismaya menitis ke wadag Janggan Semarasanta yang akhirnya menjadi abdi setia di Pertapaan Saptaarga.

Kisahnya bermula ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau. Dia lari sampai ke Saptaarga hingga akhirnya ditolong oleh Resi Kanumanasa. Oleh Sang Resi, kedua harimau tersebut diruwat dan berubahlah menjadi bidadari yang molek. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta, sedangkan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itulah Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarasanta.

Semar

1. Petruk 2. Gareng 3. Bagong

Sebagai pamong atau abdi, Janggan Semarasanta dikenal sangat setia kepada bendara alias Tuan-nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan, sehingga hanya para resi, pendeta, atau ksatria yang mampu menjalani laku prihatin dan kuat diemong oleh Janggan Semarasanta. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat diemong oleh Janggan Semarasanta, yakni Resi Manumanasa sampai enam keturunannya; Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata, dan Arjuna.

Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan roh eyangnya; Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta hanyalah seorang manusia cebol jelek dan hitam. Namun, sesungguhnya dia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
***

Lantas, apa hubungan antara Semar dan konteks kekuasaan kontemporer saat ini? Secara langsung tidak ada memang, apalagi Semar hanyalah sebatas tokoh dalam mitos pewayangan yang tidak memiliki urgensi dalam lingkaran elite kekuasaan. Meski demikian, karakter tokoh Semar agaknya masih amat relevan jika dikaitkan dengan pola-pola kepemimpinan dalam lingkaran elite kekuasaan kontemporer saat ini. Pertanyaan menggoda yang layak dijawab adalah masih adakah “Semar” dalam lingkaran elite kekuasaan?

Yups, sebagai simbol kearifan, terutama dalam dunia wayang, Semar merupakan dewa yang menyamar sebagai kawula alit (orang kecil) untuk mengembalikan perdamaian ketika negara dalam keadaan genting. Semar bisa jadi merupakan tokoh yang menyimpan sumber kepemimpinan kharismatik sekaligus juga rasional. Ia dikenal ahli dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial yang terbukti telah mampu meredam gejolak dan kemelut yang meruyak di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dia dikenal konsisten dalam bersikap, tegas mengambil keputusan, dan tak pandang bulu dalam memberikan sanksi hukum kepada siapa pun yang nyata-nyata terbukti melawan hukum.

Yang mengagumkan, Semar dikenal tidak banyak cakap dan tidak suka menjual janji-janji menggiurkan kepada rakyatnya. Dia lebih suka mewujudkan apa yang menjadi impian dan harapan rakyat. Selain itu, ia juga menyimpan kekuatan fisik yang dikenal dalam idiom Jawa sebagai kadigdayaan dan kekuatan supranatural yang luar biasa (Abdul Munir Mulkhan, 2001).

Segala kelebihan dalam diri Semar itu baru bisa digunakan ketika penindasan dan ketidakadilan kian merajalela. Dia tidak muncul setiap saat. Semar butuh momen yang tepat, yakni ketika kondisi sosial-politik mengalami chaos dan kekacauan. Dia akan muncul secara tiba-tiba. Kemelut akan segera berakhir ketika Semar mengoperasikan kedigdayaan-nya, sehingga memengaruhi keputusan pemerintahan dan kekuasaan para dewata.

Semar memang hanya ada dalam dunia mitologi. Meski demikian, tak ada salahnya jika mitos itu menjadi sebuah kesadaran budaya dan politik sebagai referensi seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Semar identik dengan kepintaran, kecerdikan, kesempurnaan, kebijakan, dan sifat terpuji lainnya. Nah, lantas memang masih adakah “Semar” dalam konteks lingkaran elite kekuasaan di negeri ini?

Pertanyaan semacam itu agaknya tidak mudah untuk dijawab. Realitas sosial-politik di negeri ini, diakui atau tidak, seringkali membuat kita sesak napas. Dalam kondisi masyarakat kita yang paternalistis, rakyat akan dengan mudah menyaksikan bagaimana kaum elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan itu mengelola dan mengendalikan negara. Secara jujur juga mesti diakui, kaum elite kita belum sepenuhnya mampu membebaskan diri dari godaan kanan-kiri yang “memaksa” mereka terlibat dalam permainan busuk, korup, hasrat menguasai orang lain, sikap memperkaya diri sendiri, benci terhadap kelompok lain, rakus kekuasaan, mencuri harta rakyat, dan sederet sikap tak terpuji lainnya.

Kita selalu ingat betapa mereka sangat cerdas dalam membangun opini publik ketika berkampanye. Taburan retorika dan kata-kata manis meluncur dari balik mimbar. Yel-yel politik menggema ke angkasa hingga mampu menggetarkan pintu langit. Massa terhipnotis. Sosok pemimpin yang jujur dan adil membayang di setiap kali. Namun, ketika retorika dan kata-kata manis itu berhasil mengantarkan mereka dalam sebuah singgasana kekuasaan, rakyat mesti harus lebih banyak menelan ludah. Janji untuk memperbaiki hal-hal yang mendasar bagi rakyat, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, atau lapangan kerja, tak lebih hanya sebuah permainan retorika. Penguasa seringkali membangun pencitraan publik melalui gaya eufemistik untuk membesar-besarkan keberhasilan semu. Yang lebih memprihatinkan, penguasa tak berdaya dalam membersihkan praktik korupsi yang berlangsung dalam lingkaran kekuasaannya. Muncul Sengkuni-sengkuni gaya baru yang suka menjilat pantat atasan sehingga perilaku busuk yang mereka lakukan bisa terbungkus dengan rapi.

Dalam mengendalikan roda kekuasaan yang sarat intrik dan rentan terhadap berbagai macam bentuk kekacauan, dibutuhkan sosok pemimpin berkarakter Semar yang ahli dalam mengatasi berbagai macam krisis, meredam berbagai konflik, mencegah gejala disintegrasi bangsa, memberantas KKN; cerdas dalam menciptakan lapangan pekerjaan, dan mengangkat ekonomi rakyat. Semoga roh Batara Ismaya yang smart dan memiliki wisdom semacam itu “menitis” ke dalam nurani para pemimpin kita, baik yang berada di level kabupaten/kota, provinsi, maupun negara, hingga akhirnya mereka mampu mengantarkan bangsa dan negeri ini pada sebuah peradaban yang terhormat dan bermartabat. ***


No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...