Wayang Suket itu sebetulnya dolanan anak-anak ini di desa. Ketika kerbau, sapi atau kambing sibuk makan rumput, bocah angon (anak gembala) mencoba menirukan para dalang yang memainkan wayang. Jadilah, rumput-rumput di sekitarnya dimanfaatkan untuk dijadikan model wayang, layaknya seorang dalang.
Ini merupakan sebuah kebetulan atau ketidaksengajaan seseorang membuat wayang suket. Hal ini dikarenakan bapak maupun simbahnya seorang petani yang tiap hari ke sawah.
Kenapa dinamakan wayang suket, karena wayang yang dimainkan terbuat dari rumput atau dalam bahasa Jawa disebut suket. Rumput memang dengan mudah bisa ditemukan dimana saja. Tetapi biasanya rumput yang dirangkai dan dijadikan wayang adalah rumput teki, rumput gajah, atau mendong, alang-alang yang biasa dianyam menjadi tikar. Kesemuanya memiliki tekstur kuat dan bentuk yang panjang-panjang. Wayang suket tak mempunyai bentuk yang baku, seperti halnya tokoh dalam wayang kulit atau golek. Sekilas rumput-rumput tersebut memang dibentuk laksana wayang kulit, yang dapat dimainkan dengan tangan. Namun untuk membedakan tokoh yang satu dengan lainnya sangat sulit.
Sebab bentuknya yang hampir serupa. Pementasan wayang suket berbeda dengan pertunjukan wayang lainnya. Dan Slamet Gundonolah adalah pencetus pementasan wayang suket dan cukup terkenal tidak hanya di nusantara tetapi sudah sampai ke Jepang dan Amerika, bahkan ke Eropa. Pementasan ini mulai dirintis oleh Ki Dalang Slamet Gundono 1999.
Siapakah dia? Pak Gepuk namanya. Nama Pak Gepuk mulai mencuat ketika hasil karyanya dipamerkan di Gedung Bentara Budaya Yogyakarta 1-8 September 1995 yang diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan Indonesia Belanda Karta Pustaka dan Bentara Budaya Yogyakarta. Dari situlah pamor wayang suket mulai diperhitungkan dalam kancah perwayangan Indonesia.
Setelah Pak Gepuk hilang dari peredaran dunia perwayangan sampai akhir hayatnya, tiba-tiba di Tahun 2007 kembali muncul ketika banyak seniman-seniman Yogya menanyakan keberadaan Pak Gepuk. Hal ini terungkap ketika Museum Prof. Dr. Soegarda Purbalingga mengadakan pameran di Beteng Vredenberg Yogya dan menampilkan wayang suket karya Pak Gepuk. Banyak sekali pertanyaan, kesan dan tanggapan yang begitu simpatik yang ditujukan kepada Pak Gepuk “Sang Maestro yang tidak terkenal”. Demikian julukan dari salah seorang seniman senior Yogyakarta dan mereka tidak menyangka bahwa Pak Gepuk sudah tiada. Berkaitan dengan itulah penulis tergugah hatinya untuk untuk mencari informasi siapakah Pak Gepuk ini? Mengapa di luar Purbalingga khususnya di pusat-pusat kesenian namanya begitu terkenal, tetapi di Purbalingga sendiri banyak yang tidak tahu, termasuk penulis. Dan akhirnya penulis menemukan tulisan mengenai Pak Gepuk dalam sebuah artikel yang dimuat dalam buku Cikar Bobrok karya Sindhunata dan pernah diterbitkan oleh sebuah koran nasioanl. \
Inilah kisahnya:
Ladang itu bernama Sawah Gunung, letaknya kuramg lebih lima kilometer dari Dusun Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Purbalingga. Di sana jagung sedang menghijau..Suasana sunyi sekali.Di ladang inilah Pak Gepuk melewatkan hari-harinya. Siang ia mencangkul dan mengolahnya. Di gubug reyot itutak ada dipan, apalagi kasur. Yang terlihat hanyalah daun-daun pisang kering (klaras).
Klaras itulah kasur buat Pak Gepuk. Kini Pak Gepuk sudah berusia 87 tahun (sekarang 97 tahun). Badannya sudah kelihatan renta, namun masih kuat dan giat mencangkul ladangya. Siang hari ia mendapat kiriman makanan dari anak perempuannya berupa nasi, sebungkus sayur dan tempe tahu.
Pak Gepuk suka bermalam di gubugnya dan jarang pulang ke rumahnya. Paling-paling-paling seminggu sekali. Pak Gepuk enggan pulang ke rumah, bukan hanya karena jalannya yang sudah mulai repot dan susah. Ia memang suka menyendiri dan menyepi dalam kesunyian sejak masa mudanya. Pernah ia tinggal di gubugnya 40 hari 40 malam tanpa pulang sekalipun.
Kesunyian itulah yang mewarnai dan melingkupi hidup Pak Gepuk. Kesunyian itu memberinya kekuatan agar ia tabah mengolah tanahnya. Kesunyian itu memberinya pengetahuan bahwa alam ini adalah guru bagi kehidupannya. Kesunyian itu mengajarinya bahwa keindahan itu ada dimana-mana, bahkan di dalam rumput.. Karena itu, di tangan Pak Gepuk rumput-rumput itu bisa dianyam menjadi karya seni berupa wayang.
Pak Gepuk itu petani sekaligus seniman. Pada dirinya hidup bertani dan hidup berseni itu adalah hal yang tak terpisahkan. Tanah, tempat ia mencangkul dan meneteskan keringatnya, adalah tanah tempat ia memperoleh rasa seni dan bahan keindahan. Tanah itu memberinya jagung dan ketela untuk dimakan dan menyambung hidup. Tanah itu juga memberinya rumput untuk berkesenian dan mengungkapkan keindahan.
Tak ada orang mengajarinya bagaimana ia bertani. Sebagai anak petani, kemampuan bertani itu datang dengan sendirinya. Demikian pula ikhwal “keseniannya”. Waktu itu PakGepuk masih berusia lima belas tahun. Sehari-hari ia menjadi bocah angon..
Padang rumput adalah dunia Pak Gepuk. Dengan rumput-rumput itulah kambing-kambingnya mengenyangkan diri. Bukan hanya kambing, kehidupan manusia pun tergantuing pada rumput. Bagimana ia dapat hidup sebagai bocah angon jika tiada rerumputan.
Adi Purwanto, SS.,M.Si.
Pengelola Museum Budaya
Prof.Dr.R.Soegarda Poerbakawatja Purbalingga
No comments:
Post a Comment