Thursday, January 8, 2009

Makna di balik siraman pusaka Keraton Jogja

 clipped from koranjogja.com

Minggu, 04 Januari 2009 10:46

Di setiap bulan Sura, Keraton Jogjaa menggelar jamasan pusaka sebagai wujud pembersihan ruh dan jiwa. Sebagian masyarakat meyakini air bekas jamasan mengandung banyak berkah yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit, memperlancar rejeki, dan menyuburkan tanah pertanian

HARIAN JOGJA/TALCHAH HAMID

    Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini pencerahan ruh sangatlah penting. Tak hanya menyangkut di jagad bawah (masyarakat), jagad atas (yang jumeneng) pun butuh mencerahkan ruh dirinya. Masyarakat Jawa yang sejatinya berakar dari akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam, khususnya Kerajaan Mataram Islam selaku entitas tertinggi, mengaktualisasikan pembersihan ruh dalam jamasan pusaka, yang rutin digelar  saban Selasa Kliwon ataupun Jumat Kliwon di bulan Sura.

Bagi setiap manusia yang menjalani alur kehidupan, pencerahan ruh sangatlah penting. Tak hanya yang di jagad bawah.
Ritual membersihkan pusaka juga diikuti oleh masyarakat umum yang memiliki keris atau benda pusaka lainnya. Bulan Sura menjadi saat tepat untuk merawat pusaka.

    Dalam perkembangannya, menurut GBPH H Joyokusumo Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ritual yang mentradisi lewat tempaan waktu ini terus di uri-uri oleh empat entitas pewaris Kerajaan Mataram Islam, termasuk di dalamnya Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat, dan Kadipaten Pakualaman. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Keraton Jogja menggelar jamasan pusaka sebagai wujud pembersihan ruh dan jiwa. Berlangsung jamasan terhadap pusaka-pusaka Keraton Jogja yang meliputi: keris, tombak, pedang, dan kereta kencana.     
 
    Hari pertama jamasan, dilakukan secara tertutup oleh Ngarsa Dalem, sentono dan keluarga Keraton. Pusaka yang dijamas adalah: Tombak Kanjeng Kyai Ageng Pleret, Kanjeng Kyai Ageng Baru, Kanjeng Kyai Ageng Megatruh, Kanjeng Kyai Ageng Gondotapan dan Kanjeng Kyai Ageng Godowedana. Termasuk juga keris, yang meliputi:  Kanjeng Kyai Ageng Kopek, Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturut, Kanjeng Kyai Ageng Purbaniat, dan Kanjeng Kyai Ageng Toya Tinabang. Memasuki hari kedua, jamasan dilakukan oleh abdi dalem  Keraton, dengan Kanjeng Kyai Ageng Slamet, Kanjeng Kyai Ageng Duda, beserta seluruh tombak dan pedang Keraton, sebagai pusaka jamasan.

    "Bersamaan dengan jamasan hari pertama, digelar jamasan kereta kencana di Museum Kereta Kraton Rotowijayan. Bedanya, jamasan yang dilakukan oleh abdi dalem Keraton ini terbuka untuk umum," ujar Gusti Joyokusumo.

     Menariknya, jamasan terhadap kereta Kanjeng Nyai Jimat yakni kereta buatan Portugis pada tahun 1750 yang merupakan kereta pusaka tertua milik Keraton dan dipakai semasa pemerintahan Sultan HB I-III, dan kereta Keraton Rata Biru yang dipakai untuk kirab pernikahan putri Sultan HB X, GKR Pembayun, ini diluapi oleh ratusan orang yang ingin menyaksikan dan ngalap berkah air bekas jamasan.

    Diyakini, air bekas jamasan mengandung banyak berkah yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit, memperlancar rejeki, dan menyuburkan tanah pertanian. Kuatnya keyakinan masyarakat inilah yang menyedot antusiasme masyarakat dari berbagai daerah untuk menyaksikan dan ngalap berkah air bekas jamasan.

    Di setiap jamasan terdapat sesaji yang dipergunakan sebagai uba rampe jamasan, sajen mempunyai makna dan arti mendalam. Sesaji tidak untuk dimakan, karena dimaksudkan untuk memberi makan pada pusaka-pusaka yang akan dijamas. Rangkaian sesaji yang terdiri dari: jajan pasar, nasi tumpeng plus gudangan, jenang baro-baro (rupa-rupa), kendi berisi air bunga, seekor ayam hidup, sebutir telur, ingkung ayam cemani dan ayam kampung, kemenyan, kloso bongko (tikar pandan), dan kembang setaman ini, mengandung makna-makna tersendiri.

    Jajan sepasar adalah simbol pengingat akan kehidupan dunia yang seperti saat ini. Sebagai manusia, kita seakan diingatkan agar mampu melihat kenyataan dunia dan tidak mudah larut sehingga penting bagi kita selalu ingat pada kehidupan akhirat.

     Untuk mencapai kehidupan akhirat yang diidamkan ini, manusia wajib melakukan penyucian dan pembersihan ruh dengan sesuatu yang suci dan harum. Dalam sesaji, alat penyuci disimbolkan dengan air bunga. Bagi sebagian besar masyarakat, bunga diidentikkan sebagai sesuatu yang harum dan suci.
  
    Mendalami makna sesaji, seakan melihat dan membaca kondisi spiritualitas manusia dalam konteks hubungannya dengan sang pencipta, begitu juga hubungannya dengan sesama manusia. Gambaran keseimbangan hubungan seorang pemimpin dengan pencipta dan sesamanya disimbolkan dengan kloso bongko, yang mengandung arti 'lungguhe ikhlas opo ora?' dalam hal ini, seorang pelungguh (pemimpin) harus ikhlas ketika menjadi  tumpuan kasih Alloh dan masyarakat. Berlandaskan keikhlasan inilah sesuatu yang diidamkan baik secara spiritual ataupun secara material, yang ditandai dengan keselarasan antara jagad bawah (masyarakat) dengan jagad atas (yang jumeneng) akan tercapai sehingga Negara yang tata, titi, tentrem akan terwujud. .    
Sent with Clipmarks

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...