Wednesday, November 19, 2008

Gareng Sayang, Gareng Malang


[ Minggu, 24 Agustus 2008 ]
Oleh: Ki Slamet Gundono

RUMAH itu terletak seratus meter agak menjorok ke dalam gang sempit. Catnya kusam, beberapa dindingnya tampak cuwil-cuwil. Baunya, alih-alih parfum ruangan yang wangi, lebih mirip gombal basah yang beberapa hari ndak kering.

Nafas berat terdengar dari dalam rumah. Cenil Mince, tampak tergolek di kursi malas rotan yang mulai rantas. Dia mentelengi tivi butut hitam-putih yang gambarnya kerap kabur dirubung semut. Dalam hati, Cenil Mince meratap pedih, Andai hidupku berubah, ndadakan kaya bergelimang harta. Hidup serba ada seperti cerita-cerita sinetron itu,..tapi,..ah..

Tiba-tiba, sebuah suara cempreng membuyarkan lamunan Cenil Mince. ''Bune, mimpimu bakal terwujud. Aku dapat kerja! Sak miliar sebulan! Bune mo beli mobil apa?'' seru Gareng. Cenil Mince tak memedulikan pekerjaan apa yang bakal dilakoni suaminya. ''Beneran nih Dad? Harley dong, laptop juga, makan-makan, nih,'' celetuk Al Khaereng, anak Gareng, dari kamar yang lembab.

Status sosial dan pergaulan Gareng pun berubah drastis. Orang Kaya Baru (OKB) alias kere mungah bale. Semua yang dulu hanya bisa diimpikan sambil ngiler, diborong semuanya. Rumah mewah, tanah berhektar-hektar, Rolls Royce terbaru, semua punya.

Dengan mobil yang masih kinyis-kinyis, plus kacamata riben, Gareng pongah menerobos jalanan Karang Kadempel. Ayah Gareng, Semar, yang berpapasan hanya bisa berkata lirih. ''Gong, itu pengusaha. Gareng lagi tidur,'' katanya mencoba menentramkan batin yang pedih. Bagong yang tak mudeng maksud romonya itu hanya melongo.

Dan pagi itu, dengan kekayaannya, Gareng bisa menyihir aktivitas pasar pagi Karang Kadempel. Semua diam, melihat pintu Rolls Royce yang terbuka pelan. Cenil Mince keluar dari mobil dengan jalan dianggun-anggunkan. Semua pedagang pasar menawarkan dagangannya. Dan semua pun diborong Gareng hingga ludes. Satu jam berlalu, dengan bagasi tetap terbuka karena penuh belanjaan, Rolls Royce kembali melaju.

''Wah, sugih tapi pecor ya,'' ujar Lik Prenjak, penjual bumbon. ''Jarene, untuk operasi kudu ke Singapur. Dite kurang kali,'' sahut Yu Saodah, rentenir. Sriwing-sriwing, Gareng menangkap obrolan para penjual itu. Mereka menertawakan Gareng yang kakinya cacat dan matanya kero. Gareng berusaha menguat-nguatkan hati.

Menjelang petang, Cenil Mince mengajak dinner ke Ngamarta Grand Mall. Dengan dandanan serba putih, Cenil Mince menggamit lengan tuxedo Gareng. Mereka pelan melintasi food court memilih menu. Mereka pun tak lagi memperhatikan langkah. Dabrus, separuh tubuh Gareng menabrak seorang cewek manis yang dirangkul cowoknya.

''Bah..macam apa pula kau, jalan liat-liat bah," emosi si cowok dengan logat Medan kental. ''Bah..Bah..abahmu apa? Ente yang salah jalur,'' sembur Gareng. Perang kata menghentikan beberapa pengunjung mall. Entah dari mana datangnya ada suara, ''Udahlah, liat tuh dia punya mata, pakein kacamata kuda baru yahuuud!" Menggelegarlah tawa di penjuru mall. Dengan wajah merah padam, Gareng setengah berlari keluar mall.

Dengan kuncuran modal Gareng juga, Yayasan Awewek Geulis bikinan Cenil Mince bisa mendatangkan Dewi Supraba (Miss Universe). Tak dinyana, aura kewibawaan Gareng dalam sambutan telah menarik simpati Dewi Supraba. Singkat cerita, dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan mereka sering kencan jalan bareng. Singkat ceritanya lagi, mereka sepaham mengakhiri kisah mereka di kursi pelaminan.

Gosip tersebut terbawa angin sampai di Kayangan. Rapat pleno khusus untuk menyingkapi kasus itu diadakan. Hasilnya, sidang dewa mengutas Narada untuk menemui Gareng. Tengah malam, Narada menemui Gareng dalam mimpinya. ''Untuk mendapatkan Supraba, tidak cukup cuma kaya. Tapi harus sempurna fisiknya,'' ujar Narada. Dengan keringat dingin sak gajah-gajah, Gareng melonjat dari kursi malasnya. Rahangnya dikatupkan kuat-kuat, tubuh menggigil menahan emosi.

Cepat diputar kode angka brankas, dihitungnya nominal yang tercatat dan segera dia hubungi Dr Sang Hyang Antiboga, jagoan face-off dan modifikasi tulang nomor wahid.

''Bos..jane wajahmu dah oce. Mau diubah kaya apa lagi? Brad Pitt, Leonardo di Caprio, atau dalange wayang lindur?" tanya Dr Antaboga. ''Manut Dok, yang penting nguuanteng, kakiku lempeng. Dok, sak gini cukup?'' ujar Gareng sambil menuliskan angka nominal. Setelah dua belas jam, pintu kamar operasi terbuka. Amben dorong dengan tubuh Gareng terbaring dimasukan ICU.

Pertama yang diminta Gareng ketika tersadar adalah kaca pangilon. Gareng terseyum-senyum dan mematut-matutkan diri di depan kaca. Rasa puas tergambar jelas di wajahnya. Matanya tak kero lagi dan kakinya sempurna.

Keluar rumah sakit, Gareng bak artis sinetron. Digrumuti cewek dan dielu-elukan di mana-mana. Tak hanya Supraba, Wilutomo juga tertarik bersaing mendapat tempat di hati Gareng.

Malam dihiasi barisan bintang-bintang. Di sudut ruangan yang dipadu musik romantis. Dihiasi lilin, Gareng dan Supraba entah ngobrolin apa, asyik bercengkrama. Tiba-tiba keasikan mereka dikagetkan serombongan aparat negara tanpa seragam. Mereka menggelandang Gareng dengan alasan menjadi agen spionase internasional. Meja hijau mengantarkan Gareng ke hotel prodeo selama lima belas tahun.

Sore hari lima belas tahun kemudian, Semar, Bagong dan Petruk berkumpul. Di halaman, mereka asik berbagi tempe gembus. ''Hidup di bui pikiran bingung, makan susah, pulang tinggal tulang..," Pengamen dengan gitar bututnya yang ternyata Gareng baru keluara penjara memecah keasikan mereka.

''Reng...Reng hatimu rapuh, ketidaksempurnaan tubuhmu itu punya hikmah. Tapi, saat kamu menjual negara itu musibah," bisik Semar. Gareng nangis meraung. Sedangkan Semar melihat lagi orang di seluruh dunia direkrut jaringan internasional untuk saling menyakiti. (*)

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...